JAKARTA, Narayamedia – Lebih kurang 600 mantan pejabat tinggi keamanan Israel, termasuk sejumlah eks kepala badan intelijen Mossad dan Shin Bet, mendesak Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Para eks pejabat ini ingin Trump menggunakan pengaruhnya untuk menekan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menghentikan perang berkepanjangan di Jalur Gaza.
Dalam surat terbuka yang mereka tujukan pada Trump, para pejabat itu menuturkan berdasarkan penilaian profesional mereka, Hamas sudah tak lagi jadi ancaman strategis bagi Israel. Pihaknya berpendapat, melanjutkan operasi militer hanya bakal memperpanjang penderitaan. Juga merusak kredibilitas Israel di mata dunia. Sekaligus dianggap mengancam identitas nasional mereka.
Diketahui, perang di Gaza dimulai pada Oktober 2023. Saat itu, Israel melancarkan serangan besar-besaran. Agresi Israel di Gaza terus berlangsung hingga kini. Sedikitnya, lebih dari 60.000 orang warga Gaza tewas. Di tengah meningkatnya tekanan internasional dalam gencatan senjata, Netanyahu justru dilaporkan berupaya memperluas serangan.
Surat terbuka kepada Trump itu jadi bentuk intervensi moral dari dalam negeri. Ini sinyal bahwa keinginan untuk mengakhiri perang tak hanya datang dari luar, tapi juga dari para tokoh kunci yang dulu berada di garis depan pertahanan Israel. Rupanya, Trump bukan sosok asing dalam politik Israel. Selama masa kepresidenannya, hubungan erat keduanya menjadi pilar kebijakan luar negeri pro-Israel.
Para penandatangan surat percaya jika Trump masih memiliki kredibilitas di mata rakyat Israel. Sekaligus dapat menggunakan pengaruhnya dalam mengarahkan Netanyahu menuju solusi diplomatik. Termasuk pemulangan sandera yang masih tertahan di Gaza. Para tokoh militer itu juga meyakin, dua dari tiga tujuan utama perang, yaitu membongkar formasi militer Hamas dan menjatuhkan pemerintahan de facto mereka di Gaza telah tercapai.
“Awalnya ini perang yang adil, perang defensif. Tapi, setelah semua tujuan militer tercapai, ini bukan lagi perang yang adil,” kata Ami Ayalon, mantan kepala Shin Bet, dikutip Narayamedia.com dari BBC.
Tujuan ketiga, yakni pemulangan semua sandera. Menurut mereka, tak bisa lagi dicapai melalui kekerasan, melainkan harus perundingan. “Ketiga, dan paling penting, hanya dapat dicapai melalui kesepakatan: memulangkan semua sandera,” tulis surat yang diteken tiga mantan kepala Mossad: Tamir Pardo, Efraim Halevy, dan Danny Yatom, dikutip dari Al-Arabiya.
Surat itu juga mencatat jika penderitaan rakyat Gaza kini mencapai tingkat sangat mengkhawatirkan. Laporan dari badan-badan PBB menyebut, kelaparan terjadi secara luas. Menyebabkan kematian, setidaknya 180 orang. Termasuk didalamnya 93 anak-anak.
Di situasi yang sama, akses bantuan kemanusiaan terus dibatasi. Sementara, jurnalis asing masih belum diperbolehkan masuk secara bebas untuk peliputan independen. Keluarga para sandera mulai bersuara keras, mengecam rencana operasi militer lanjutan yang dianggap mengancam nyawa sandera.
Dalam surat itu, para mantan pejabat menyinggung keberhasilan Trump mendorong deeskalasi konflik di Lebanon, dan menyerukan untuk melakukan hal serupa di Gaza. Mereka bahkan usul agar setelah gencatan senjata, Trump turut mendorong pembentukan koalisi regional yang mendukung Otoritas Palestina versi reformasi untuk menggantikan kekuasaan Hamas di wilayah itu.
Sementara, Netanyahu disebut berencana memperluas operasi militer di Gaza. Laporan media Israel menyebutkan, perundingan gencatan senjata dengan Hamas mengalami kebuntuan. Disebutkan, Netanyahu mengincar “kemenangan militer total”. Langkah ini memicu kritik tajam. Termasuk dari kelompok keluarga sandera yang menilai Netanyahu membawa Israel dan sandera menuju kehancuran. (*)