JAKARTA, Narayamedia – Belakangan, fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya nanya (rohana) menghantui mal atau pusat perbelanjaan. Masyarakat bertandang ke pusat perbelanjaan tetapi tidak melakukan transaksi. Bahkan hanya sekadar tanya-tanya.
Menteri Perdagangan Budi Santoso menjelaskan, sebetulnya, hal itu biasa umum dilakukan ketika masyarakat ingin berbelanja. Biasanya, kata Budi, hal itu masyarakat lakukan untuk melakukan survei harga terlebih dahulu. Tujuannya, untuk membandingkan harga-harga dengan toko lain.
“Sebelumnya (fenomena rojali) memang juga sudah terjadi. Namanya orang orang mau belanja, sudah biasa di cek barangnya dulu. Mau lihat barangnya bagus tidak, harganya seperti apa. Maksudnya, jangan sampai nanti dapat yang palsu, kan seperti itu,” kata Mendag Budi, dalam keterangan di Jakarta, belum lama ini.
Dalam keterangan terpisah, Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menuturkan, jumlah pengunjung ke mal memang mengalami peningkatan. Tetapi, belum berlaku untuk peningkatan transaksi.
Menurutnya, fenomena rojali dan rohana bukan hal baru. Saat ini, skalanya menjadi lebih mencolok akibat kondisi daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Ini kerap terjadi bagi kalangan kasta menengah ke bawah. Apalagi pasca Covid-19 tahun 2020 lalu.
Alphonzus menambahkan, masyarakat masih tetap datang ke mal. Pasalnya, saat ini pusat perbelanjaan bukan hanya tempat belanja. “Namun, juga sebagai ruang publik untuk hiburan dan kegiatan sosial lainnya. Nggak bisa dipungkiri, fenomena ini terjadi akibat karena lesunya daya beli masyarakat,” tukas Alphonzus.
Dalam catatannya, jumlah kunjungan masyarakat ke mal sendiri, diakui Alphonsus meningkat sekitar 10 persen tahun 2024 bila dibandingkan tahun sebelumnya. “Ini terjadi karena faktor daya beli, khususnya di kelas menengah bawah. Daya belinya berkurang. Uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan,” jelasnya.s
Selain itu, sambung Alphonzus, tren belanja masyarakat juga sudah mengalami perubahan yang diakibatkan tekanan ekonomi. Artinya, lebih selektif dalam membeli barang. Malahan, tidak melakukan pembelian jika tak ada kebutuhan yang mendesak.
“Yang berubah itu pola belanjanya. Mereka jadi lebih selektif berbelanja. Kalau tidak perlu, ya tidak. Kalaupun beli, hanya barang dengan harga unit itu murah,” katanya.
Walau begitu, Alphonzus menilai fenomena rojali atau rohana di mal adalah hal yang umum dilakukan. Mengingat fungsi pusat perbelanjaan sendiri tidak hanya tempat transaksi, namun sebagai rekreasi atau hiburan.
“Itu umum atau hal wajar. Ada interaksi, tawar menawar, dan sebagainya. Fenomena rojali juga muncul karena fungsi dari pusat perbelanjaan bukan hanya belanja. Tapi, disitu ada edukasi, entertainment, hiburan, dan lainnya,” tambahnya.
Tak hanya itu. Jumlah uang yang dimiliki masyarakat turut menyebabkan mereka menjadi lebih selektif berbelanja. Tak sedikit konsumen hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan. Termasuk cenderung memilih produk dengan harga miring.
Dia optimistis situasi ini tak bakal berlangsung lama. Selain itu, secara nasional, kondisi pusat perbelanjaan masih stabil. Termasuk daya beli di luar Pulau Jawa juga masih lebih kuat dibandingkan di wilayah Jawa.
Kini, sebagai format adaptasi, sejumlah pusat perbelanjaan saat ini menjalankan program promo guna mendorong konsumsi. Nantinya, program ini bakal terus berlanjut hingga akhir tahun. Ini upaya menghidupkan kembali transaksi di masa low season di tahun 2025 yang berlangsung lebih lama. (*)