JAKARTA, Narayamedia – Ruby Alamsyah dari pakar keamanan siber dari Universitas Indonesia mengingatkan awak jurnalis agar tidak sembarangan memasukkan data sensitif ke platform kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intelligence).
Diakuinya, informasi yang dimasukkan ke platform generatif AI akan direkam, disimpan, hingga kembali diolah oleh penyedia layanan. Jika sistem mengalami kesalahan konfigurasi atau peretasan, data sensitif yang tersimpan di sistem berisiko bocor.
“Data kita direkam mereka. Data sensitif investigasi wartawan bisa saja bocor atau terekspos, misalnya karena kesalahan konfigurasi, peretasan, atau kebocoran lain,” ujar Ruby dalam diskusi di Jakarta, Kamis (25/9).
Ia mencontohkan, wartawan yang mengolah data transkrip wawancara berisi informasi sensitif, seperti kasus korupsi yang melibatkan pejabat, menggunakan AI untuk dapat terekspos ke publik karena kebocoran data.
Di sisi lain, Ruby juga menilai AI berpotensi dijadikan senjata guna merusak kredibilitas wartawan. Seperti, misalnya melalui deepfake atau manipulasi konten digital lain. Kemudian, maraknya disinformasi di internet bisa merusak kualitas data yang diolah AI, sehingga jawaban yang dihasilkan tidak kredibel.
“AI salah satu sumbernya adalah internet. Kalau dengan cara tertentu mereka bisa membanjiri data-data dengan hoaks yang masif. Dengan data-data yang luar biasa besar, baik dari postingan artikel, media sosial, berita-berita palsu, dan lain sebagainya. Akhirnya, jawaban AI itu jadi bias dan berubah,” tambah Ruby.
Langkah Pencegahan
Maka itu, Ruby menuturkan empat langkah pencegahan agar jurnalis lebih aman menggunakan AI. Pertama, tak pernah mengunggah informasi rahasia, identitas sumber, data belum dipublikasikan, atau data investigasi yang sensitif.
Kedua, memperlakukan AI layaknya media sosial, sehingga hal-hal yang tidak ingin dipublikasikan sebaiknya tidak dimasukkan ke AI. Ketiga, melakukan sanitasi atau pembersihan data sebelum menganalisis dokumen wawancara dengan AI.
“Misalnya, kita mau menuliskan artikel atau menganalisa. Saat menyebutkan nama sumber, perusahaan, atau detil lainnya, bisa kita ubah dengan data lain. AI dapat tetap menjawab dengan benar, tapi data sensitif kita tidak perlu disampaikan,” jawabnya.
Keempat, lanjut Ruby, wartawan juga diimbau agar informasi yang dihasilkan AI diperlakukan hanya sebagai referensi. Bukan fakta mutlak.
“Setiap kita dapat jawaban dari AI, coba tanya kembali. Biasanya, AI akan berpikir ulang dan banyak yang salah. Tapi, kalau (informasi buatan AI) memang sempurna dan ada referensi, baru dia menyebutkan bahwa informasinya itu benar. Jadi, pastikan AI kita adalah sebagai sumber, bukan justru fakta secara langsung,” tutupnya. (*)