JAKARTA, Narayamedia – Belakangan, publik Indonesia kembali dihebohkan atas kemunculan petisi penolakan PTDH atau pemberhentian tidak dengan hormat Kompol Cosmas Kaju Gae dari kepolisian di platform Change.org. Petisi itu dibuat oleh Mercy Jasinta. Sebelumnya, sanksi PTDH dijatuhkan ke Kompol Cosmas buntut insiden kendaraan taktis (rantis) Brimob melindas driver ojol, Affan Kurniawan hingga tewas.
Petisi itu menuai pertanyaan, siapa sosok dan apa motivasi Mercy Jasinta?
Mercy adalah perempuan asal Bajawa, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di akun media sosial Facebook-nya, ia tercatat sebagai alumni program pascasarjana Universitas Merdeka (Unmer) Malang. Melalui akun medsos nya, ia secara terbuka menyatakan ketidakadilan terkait keputusan pemecatan Cosmas.
Mercy merujuk atas rekam jejak pengabdian Kompol Cosmas yang dianggap proporsional dan berkorban di tengah demonstrasi: “Kompol Cosmas Kaju Gae berperan menyelamatkan banyak orang saat demo di Jakarta”.
Diketahui, petisi berjudul “PETISI PENOLAKAN PEMECATAN KOMPOL KOSMAS KAJU GAE” diluncurkan pada 3 September 2025. Dalam narasinya, Mercy menuliskan jika petisi ini bentuk suara masyarakat Ngada, Flores, dan NTT yang mencintai keadilan. Ia juga membenci keputusan PTDH yang ia anggap terlalu berat.
Inti petisi tersebut, yakni:
- Menolak keputusan pemecatan tidak dengan hormat.
- Mengapresiasi pengabdian lama Kompol Cosmas yang penuh keberanian.
- Meminta Kapolri, Komisi Kode Etik & Profesi (KKEP), dan DPR RI meninjau kembali sanksi.
- Menyoroti pentingnya keadilan manusiawi yang memberi ruang rehabilitasi nama baik.
Tidak butuh waktu lama. Petisi ini menarik dukungan luas masyarakat.
150 Ribu Pendukung
Hingga Sabtu (6/9) petang, petisi ini terpantau sudah mendapatkan 150.000 pendukung. Bahkan, data dari Change.org menunjukkan jumlah tanda tangan terverifikasi mencapai 190.490
Adapun, sejumlah alasan utama yang disuarakan pada petisi, di antaranya tidak proporsionalnya sanksi bagi Kompol Cosmas. “Mengingat pengabdiannya yang panjang dan dianggap heroik dalam demonstrasi,”7 tulis, dalam keterangan di petisi itu.
Kemudian, sambungnya, kepedulian terhadap figur putra daerah. Ini sebagai representasi masyarakat NTT yang merasa kehilangan sosok pengabdian tulus. “Keyakinan pada keadilan Tuhan dan demokrasi, bahwa aspirasi rakyat kecil pun harus didengar dalam keputusan besar,” tambahnya.
Namun, petisi ini bukan sekadar angka. Di sana mencerminkan fenomena sosial. Artinya, bangkitnya solidaritas lokal dan nasional. Memperlihatkan bahwa masyarakat daerah pun bisa menyuarakan keadilan melalui platform digital.
Lalu, mendorong diskursus publik mengenai keberimbangan sanksi, pengujian ulang keputusan etik, dan perlakuan terhadap figur publik. “Selanjutnya menginspirasi model advokasi damai. Di mana, suara warga biasa bisa memberi pengaruh nyata pada evaluasi lembaga penegakan hukum,” bebernya. (*)